*Sebuah catatan kecil
Dikarenakan betapa terpesonanya saya dengan Novel ini, jadilah sebuah catatan untuk membahasnya.
Dikarenakan betapa terpesonanya saya dengan Novel ini, jadilah sebuah catatan untuk membahasnya.
Edensor, novel ke tiga dari Tetralogi Laskar Pelangi oleh Andrea Hirata
yang merupakan novel tetralogi laskar pelangi pertama yang kubaca. Dan
demi memulai mengumpulkan semua novel-novel bagus yang pernah dibaca
entah secara legal atau ilegal, rasanya sekarang adalah waktu yang tepat
untuk menebusnya dengan mulai membelinya satu persatu.
Hidup dan
nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis, dan sporadis,
namun setiap elemenya adalah subsitem keteraturan dari sebuah desain
holistik yang sempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan
bahwa tak ada hal sekecil apa pun terjadi karena kebetulan. Ini fakta
penciptaan yang tak terbantahkan.
Openingnya saja sudah wauw,
terpesona. Potongan-potongan cerita di paragraf dan bab-bab awalpun
terasa berpencar, tidak saling terkait satu sama lain, hingga akhirnya
di bab-bab dan paragraf akhirlah terasa semuanya seperti bersatu padu
membuat sebuah keteraturan yang luar biasa.
Aku yang udik, bodoh,
tak tau arah ini, entah kenapa saat membaca Edensor serasa benar-benar
di bawa ke dunia yang berbeda. Sebuah dunia milik sang penulis yang di
sesaki ilmu, yang tumpah ruah. Sains yang begitu terlihat hebat dalam
gambaran tulisannya. Petualangan-petualangan mengagumkan yang membuatku
begitu terasa menjadi anak kecil cengeng. Tekad yang kuat, pun
mimpi-mimpi yang akhirnya menular padaku hingga menyesaki rongga dadaku.
Di Novel ini, kita bisa melihat Sorbone(sepertinya aku punya seorang teman yang memimpikanya, sorbone, Imam Anendro.
Gapailah kawan, aku mendukungmu, biarkan aku dengarkan ceritamu nanti)
yang begitu megah dan agung. Keromantisan Paris, kemegahan Eropa, dan
paradoks-paradoks kehidupan.
Lalu berpetualang dari Asterdam,
Jerman, dan mendapati seni yang berbeda di Skandinavia, Denmark, Swedia,
Norwegia, Islandia Hingga Helsinky di Finlandia. Hingga terlunta-lunta
di daratan paling luas di muka bumi, yang katanya saking luasnya, sampe
terlihat dari bulan. Negeri beruang merah yang keras, Rusia. Kemudian
bertemu karakter sepesial, orang Purbalingga yang terbuang di salah satu
Negeri Balkan, Rumania.
Setelah melewati Verona sebagai tempat
di mana William Shakespeare jauh-jauh datang dari London untuk ngekos
demi membuat kisah cinta fiksi terbesar dalam sejarah, Romeo dan
Juliette, kemudian menemukan sepotong kecil mozaiknya di Milan, dan
bablas di sarang gembong mafia, Pulau Sicilia hingga akhirnya menyebrang
ke Afrika. Seperti melewati tabir ajaib yang memisahkan dua tempat yang
sangat berbeda, Eropa yang dingin tak perduli dan Afrika yang panas dan
terang benderang. Aku benar-benar terbawa suasana ketika membacanya,
Eropa khususnya London dan Inggris pedesaan, yang dari kecil sudah
tercetak kuat di kepalaku karena membaca novel-novel seperti, Lima
Sekawan, Sherlock Holmes, Agata Christie, Edensor milik Andrea Hirata
ini hingga novel Seandainya Mereka Bisa Bicara milik James Harriot
dimana A Ling memberikan novel tersebut Ikal kecil.
Jalan-jalan
desa menanjak berliku-liku dihiasi deretan pohon oak, berselang-seling
di antara jerejak anggur yang ditelantarkan. Lebah madu berdengung
mengerubuti petunia. Daffodil dan astuaria tumbuh sepanjang pagar
peternakan, berdesakan di celah-celah bangku bangku batu. Di belakang
rumah penduduk tumpah ruah dedaunan berwarna Oranye, mendayu-dayu karena
belaian angin. Lalu terbentang luas padang rumput, permukaanya di
tebari awan-awan kapas.
.
Begitulah potongan dari sebuah paragraf
novel 'Seandaianya Mereka Bisa Bicara" yang telah tergambar begitu nyata
di Kepala ikal sejak kecil. Walaupun aku sudah tak terlalu tertarik
dengan perjalanan mengejar cintanya Andrea Hirata, toh ending Edensor
adalah yang paling mengagumkan.
Dikarenakan Supervisor Tesisnya
pensiun dan pulang kampung ke Sheffield, Inggris, Andrea pun harus
mengikutinya ke Inggris yang entah bagaimana malah justru menuntunya ke
Edensor.
Kepada seorang ibu yang lewat aku bertanya, "Ibu, dapatkah memberitahuku nama tempat ini?"
"Sure lof, it's Edensor..."
"Sure lof, it's Edensor..."
Dramastis, aku tercengang seperti yang diharapkan sang penulis.