Ada yang kenal Tere Liye? Yah pasti tentu
banyak, walaupun belum pernah baca novelnya paling tidak mungkin
orang-orang Indonesia kususnya anak mudah sudah pernah mendengar
namanya. Saya sendiri punya cukup banyak novel-novelnya, walaupun belum
semuanya saya baca.
Sebenarnya, saya tidak terlalu suka jalan
cerita yang gampang sekali tertebak. Dan pertama bahkan tidak terlalu
suka cara penulisan Tere Liye dalam novel-novelnya yang kadang kurang
mendetail, yang terkadang suka saja langsung menuliskan intinya. Ahh
susah menjelaskannya. Intinya dulu pertama kali saya mencoba membaca
salah satu novelnya Tere Liye, saya tidak merasa suka. Jalan cerita yang
sederhana, gampang tertebak dan penulisan yang kurang mendalam.
Tapi tahun lalu, ketika patah hati benar-benar mengguncang hidup saya, kemudian
di tambah sakit fisik yang membuat saya hanya bisa banyak istirahat,
saya memulai membaca novel Rindu. Novel tebal ini memberikan hal
lain yang tidak saya temukan di novel lainya. Pertama sejarah, kedua
banyaknya makna pelajaran yang terkandung di dalamnya. Kemudian mulai
mengikuti fans page Tere Liye di facebook, suka sekali share
kalimat-kalimat bijaknya. Lalu mulai coba beli novel Tere Liye untuk
pertama kalinya, Negeri Para Bedebah.
Sangat tidak mengecewakan karena ada banyak hal baru yang saya pelajari
dari novel ini. Seperti Pelajaran Ekonomi, Perbankan, Hingga Politik.
Jalan ceritanya memang tidak bisa dibilang “sangat hebat” tapi sudah
cukup bagus, dan yang paling penting banyak hal baru yang saya pelajari
terlebih masalah kebijakan dalam hidup.
Dari sini saya mulai tertarik membaca
novel-novel Tere Liye yang lain. Bukan dari jalan ceritanya yang sangat
membuat saya tertarik(sungguh kebanyakan novel atau film yang saya baca
dan tonton, jalan cerita selalu jadi pokok yang paling penting yang saya
lihat) berkat Tere Liye saya bisa melihat hal lain yang bisa di ambil
dari novel atau film lebih dari sekedar jalan ceritanya yang menarik,
yaitu pelajaran yang berharga. Dan Tere Liye memberikannya banyak sekali
di dalam novel-novelnya.
Hingga saya menemukan novel yang bisa
mengobati banyak sekali patah hati saya, “Sunset Bersama Rosie” Novel
ini bisa dibilang novel yang sangat mengenaskan dari seorang yang jatuh
cinta kepada seorang wanita sedari kecil dan harus merelakannya kepada
sahabatnya sendiri. Dua puluh tahun yang hanya sebanding dua bulan ini
sangat mengenaskan. Walaupun pada akhirnya, karakter utamanya memang
tidak pernah benar-benar move on sih, hahahaha. Karena membaca cerita
yang lebih mengenaskan, rasanya patah hati saya jauh sekali terobati
saat itu.
Ehh sudahlah, terlalu panjang untuk
awalan, padahal mau mengatakan kalau novel terbaru Tere Liye segera
terbit loh. 27 Juni 2017 serentak di toko-toko buku di Indonesia. Novel
berjudul ‘Bintang’ oleh Tere Liye.
Berikut cuplikan novelnya:
*Novel “BINTANG”
Kami pulang terlambat sekali setelah
bertemu dengan Miss Selena di ruangan guru BP sekolah. Bertiga,
menumpang angkutan umum berwarna kuning. Hanya kami isi angkot itu.
Ali terlihat bersungut-sungut, dia masih
tidak terima Miss Selena melarang kami menggunakan Buku Kehidupan untuk
membuka portal dunia paralel.
Pukul dua siang, di luar kendaraan terasa
panas. Ali membuka jendela angkot lebar-lebar. Gerah. Jalanan macet,
berisik suara klakson sesekali meningkahi suasana. Di perempatan depan,
bertambah pula masalah kami. Dua orang laki-laki dewasa, mungkin usianya
sekitar tiga puluh tahun, dengan pakaian semrawut, rambut berantakan,
naik ke atas angkutan. Mereka sepertinya preman kota yang belakangan
sering mengganggu penumpang kendaraan umum.
Seli berbisik, bilang apakah kami
sebaiknya bergegas turun. Dua penumpang ini menatap kami tajam,
mengancam. Belum sempat aku menyetujui pendapat Seli, dua preman itu
telah beranjak duduk, membuat kami terpojok di bagian belakang angkot.
Mengunci kami, tidak bisa kemana-mana. Salah-satu dari mereka berbisik
kasar mengancam.
“Keluarkan uang kalian.”
Aku terdiam, menelan ludah. Seli pias,
memegang lenganku. Ali justeru nyengir lebar, balik bertanya, “Eh,
kalian serius mau memalak kami?”
Dua preman itu tentu saja serius. Mereka
mengacungkan pisau ke arah kami. Sementara sopir angkot sepertinya tidak
tahu apa yang terjadi di belakang, dia sibuk nyelip kesana-kemari di
tengah macet.
“Serahkan uang kalian!” Preman itu mendesak.
Ali kali ini tertawa kecil, “Ini
benar-benar menarik, setelah tadi menyebalkan di sekolah, sekarang
sebuah kejutan. Maksudku, ada ribuan kendaraan umum di kota ini, kalian
harus naik angkot ini, lantas menodong Raib dan Seli? Kalian apes
sekali.”
Aku menyikut Ali, menyuruhnya diam. Si Biang Kerok ini selalu saja santai dalam banyak hal.
“Tapi ini benar loh, Ra. Mereka sial
sekali. Bukan maksudku karena kita tidak bawa uang sama sekali.
Melainkan mereka tidak tahu sedang menodong siapa.” Ali tetap tertawa.
Dua preman itu nampak marah melihat tawa
Ali yang menyepelekan, mereka mengacungkan pisau lebih dekat. Hanya lima
senti dari wajahku. Seli menjerit ngeri. “Tutup mulutmu, anak ingusan,
serahkan uang atau aku lukai temanmu, hah!”
Splash. Aku tidak punya pilihan. Aku
telah memegang lengan Seli dan Ali. Tubuh kami menghilang, untuk sesaat
splash, kami bertiga telah muncul di belakang sebuah bangunan yang sepi.
Aku memutuskan melakukan teknik teleportasi. Darurat. Kami memang
dilarang menggunakan kekuatan kami sembarangan, tapi dengan dua pisau
mengancam, menghindari keributan bisa dikecualikan.
“Ini tidak seru, Ra!” Ali langsung protes saat kami muncul, “Kamu harusnya mengirim pukulan salju berdentum ke dua preman tadi.”
Apanya yang tidak seru, aku melotot.
Telat menghilang sedetik, bisa panjang urusan di angkot tadi. Pukulan
berdentum. Itu ide buruk. Kami akan jadi tontonan satu kota.
“Dan kamu seharusnya menyambar mereka
dengan petir, Seli! Bukan malah ketakutan.” Ali sekarang menoleh. Wajah
Seli masih pias, berpegangan kepadaku.
Sementara di angkot, dua ratus meter dari
lokasi kami sekarang, dua preman itu sedang sibuk meraba-raba kursi dan
dinding angkot, tangan mereka menggapai-gapai udara kosong. Wajah
mereka bingung. “Coy, kemana mereka?” Temannya bertanya gugup. “Aku
tidak tahu. Tadi masih di sana kan, Coy?” “Tidak ada, mereka
menghilang…. Jangan-jangan.” “Jangan-jangan apa?” Temannya menimpali.
“Jangan-jangan mereka mahkluk jejadian.” Dua preman itu terdiam, saling
tatap, lantas bergegas lompat turun dari angkot. Lari secepat mungkin.
*Novel “BINTANG”, Tere Liye
Untuk para fans Tere Liye dan Pecinta Novel lainya, selamat menunggu ya.