Dikira Bahagia

Menjadi orang yang nggak enakan sama orang lain memang sebuah masalah besar. Bukan aku gila kerja atau lagi malas pulang. Penat sungguh kepala ini, terbayang kasur dan novel yang belum habis kubaca. Santai, menghilangkan penat, pun sambil banyak belajar.

Hampir lima jam telah berlalu, semenjak pak manager berkata dengan suara lembut yang terasa keras buatku. "Nu, nanti malam usernya baru ada waktu buat testing, kamu tungguin sampe selsai ya." Begitu katanya ramah, juga menyebalkan.

"Baik pak." Tapi jawabanku lebih menyebalkan. Kenapa tak pernah bisa kujawab tidak bisa? Atau membalas dengan sama lembutnya, "Maaf pak, hari ini saya sungguh lelah, mungkin kurang tidur, bolehkan saya pulang dulu?" Ahh, mana mungkin, aku memang orang yang nggak enakan.
Setengah sepuluh, usai mandi yang tak pernah terasa dingin, kini bergantian perutku mengajak makan. Ahh, perut andai kau mengerti, sudah penatnya aku. Tapi tetap saja nggak enak untuk menolak ajakanya.
"Bang, dadanya masih ada?" Tanyaku lembut, ramah, pun senyumku. Aku kenal baik dengan abang pecel ayam ini karena sering makan di tempat ini.

"Masih bang, tinggal satu, tapi pahanya juga masih nih, cuma maaf, nasinya habis." Jawabanya pun seramah pertanyaanku. Memang benar, jikalau kita ramah dengan seseorang, diapun akan ramah dengan kita. Tapi jawaban ramah bukan berarti semuanya seperti yang diinginkan. Nasi habis? Duhh, jadi masih ada kerjaan tambahan buatku? Kenapa tadi tidak ke abang nasi goreng saja ya? Apa kubatalkan saja ya? Aku sungguh capek dan penat. Ahh, maaf abang pecel ayam, sungguh lelah ini membuatku harus berpaling darimu ke abang nasi goreng di sebelah pecel ayamu.

"Jadi dibakar atau digoreng kayak biasa aja bang ini dadanya?" 

"Ehh, iya, digoreng aja bang, kayak biasa." Jawabku ramah sekali, padahal kesal. Kenapa tidak bilang tidak?

**
"Udah ini bang pesenanya." Sambil menyodorkan plastik berisi ayam goreng. Ada yang aneh, kok sepertinya banyak? Jangan bilang dia goreng dua lagi karena akan kubawa pulang?

"Berapa bang?" Tanyaku was was sambil mengambil plastik berisi ayam goreng tersebut.

"Dua tanpa nasi jadi 30rb bang, satunya dada satunya paha." Hanya sedetik aku merasa terbengong-bengong, abang pecel ayam pastilah tidak sadar.

"Iya bang ini." Keberikan uang lima puluhribu, dan bengong menunggu kembalian. Jadi ini salahku kan? Yang nggak enakan, bukan salah abang pecel ayam yang kurang baik pendengaran?

Sambil menyerahkan uang kembalian duapuluhribu abang pecel ayam masih sempat mengatakan kalimat terakhirnya. "Maaf yaah bang, jam segini jadi istrinya mesti masak nasinya dulu." Katanya penuh riang.

Istri? Istri siapa? Tetangga gue? Ohh, emang dia mau yah ngeliwetin nasi buat gue? Makanya lu kasih gue dua ayam goreng padahal pesen satu? Sekalian aja tuh istri tetangga temenin gue tidur lah, biar gue bahagia tiap beli nasi ayam dibungkus dikasih dua padahal pesen satu. Ahh, dan gue kenapa manggut-manggut aja? Dasar orang nggak enakan!

"Iya bang, makasih." Kataku riang, dia pasti senang dengan ramahnya muka yang kutunjukan. Padahal udah teriak-teriak aja tadi di dalam hati, dasar payah, nggak enakan.


Oleh Nunu Nugraha
‪#‎CeritaSebelumTidur‬
Twiiter: @NunuDNugraha
IG: @nunu_nugraha17

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

0 komentar:

Posting Komentar