"Secangkir kopi hitam, dan sebuah
laptop yang menyala di pagi hari seperti ini, kau selalu jadi kau Nunu."
Suara lembut dengan pengejaan sempurna itu terdengar ringan dan sangat
ramah.
"Selamat pagi teman, apa kabarmu?" Ia melanjutkan dan
tersenyum kecil, kemudian duduk pada kursi menghadap ke arahku. "Wauw,
sepertinya terlalu pagi duduk di sini," protesnya pada bangku.
"Benar-benar sedingin tatapanmu." Sinisnya.
"Kau bisa duduk di kursiku, biar aku di situ." Lanjutku datar, sinis, dingin.
"Haha, tak akan ada bedanya, aku takut kursimu itu lebih dingin,
seperti matamu. Bahkan aku mulai menggigil sekarang." Kembali ia
mengolok-ngolok mataku yang tak terlalu ramah.
Hanya kuhirup
nafas panjang dan kukeluarkan. Ingin kembali fokus pada beberapa
rangkaian paragraf di layar monitor, sayang fokusku benar-benar
menghilang.
"Liburkah? Berkunjung ke tempat teman lama, "Old Friend"
manis sekali." Kuberi penekanan pada kata Old Friend, juga nada sinis
pada kata-kata selanjutnya.
"Ahh maafkan aku," seketika itu juga
ia melambaikan tangan pada pelayan. "kopi hitam saja mas, aku mau yang
sehitam dan sepahit cangkir kopi di depanku ini." Setelah pelayan pergi
ia melanjutkan. "Aku hanya ingin secangkir kopi."
"Secangkir kopi, yang sama denganku?"
"Berhentilah baper, atau kau akan selalu membenciku." Ia mengambil nafas panjang, "Hanya ingin melihat sepahit apa hidupmu."
"Then, u will see."
Pelayan kembali datang, membawakan secangkir kopi pekat, dan meletakan
toples gula bersama cream di sampingnya. Kulihat senyumya, geli,
"Sepahit itukah?" Buru-buru ia teguk sedikit, mencicipinya, melewati
bibir, lidah. Dan tertawa terbahak-bahak, namun ditahanya dengan
tanganya.
Aku hanya melihatnya dengan sinis.
"Oke, jadi tak
adakah cara membuat kopi ini terasa lebih manis?" katanya tanpa menatap
ke arahku, tapi menatap ke arah gula dan cream di samping cangkir
kopinya.
"Kopi itu memang seharusnya pahit. Kau tambahkan cream
dan gula sebanyak apapun, itu hanya membuat rasa kopinya pudar, sebuah
kepalsuan." Kataku datar.
"Then, mulailah minum susu, coklat
panas, jus, mereka manis seperti adanya." Jawabnya lembut, tatapanya
memang tak hangat, bahkan ia selalu mencoba membuang tatapanya dariku.
Seolah berkata, "Mataku ini, kehangatanya, bukanlah buatmu."
Aku terdiam, walaupun sebenarnya mungkin bisa saja mendebatnya panjang lebar.
"Kau sudah dapatkan apa yang kau inginkan, kaffe tempat menikmati kopi
terbaik di kota ini, lengkap dengan koleksi novel-novel best sellernya.
Aku bahkan mendengar, sebentar lagi novelmu diterbitkan. Tapi selalu
saja kau ratapi aku yang tak pernah bisa kau dapatkan." Matanya, kali
ini benar-benar mencoba menatap ke arahku, tak ada kehangatan justru
membuatku menggigil. "Kau selalu berpuisi, tentang aku, sebagai
mimpi-mimpi yang beterbangan seperti debu. Aku tahu itu menyakitimu,
karena kau memang seorang yang tak bisa kehilangan apapun yang kau
inginkan." Ia berhenti sejenak, membuang tatapanya kembali dan
meneruskan, "tapi tak bisakah kau bersyukur? Sedikit saja? Malulah pada
TuhanMu. Berhentilah hanya menghitung-hitung apa-apa yang tak bisa kau
dapatkan. Cobalah belajar menghitung apa yang Tuhan berikan."
"Panjang sekali, dan manis. Tapi kau tidak berpikir aku belum pernah mendengar nasehat seperti itu sebelumnya kan?"
Ia diam, pun denganku. Walaupun tanpa melihatnya sekarang, aku tau ia
sangat kecewa, putus asa. Tapi biarlah, tak perduli seperti apapun ia
mencoba menasehatiku, aku hanya belum bisa menerima kekalahanku. Seperti
yang ia katakan, aku memang seseorang yang tak pernah bisa kehilangan
apapun, atau kalah dari siapapun.
By Nunu Nugraha
7 Maret 2016
Follow my twitter: @NunuDNugraha
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 komentar:
Posting Komentar