Matahari pagi di akhir
bulan maret ini sungguh cerah. Tanpa lampu yang menyala, rumahku
berwarna kekuningan pagi ini. Di depan televisi yang menyala tanpa
seorangpun yang memperhatikan, berkumpulah tiga anak kecil. Satu yang
paling besar adalah adik laki-lakiku, umurnya sudah menginjak 6 tahun.
Dua anak laki-laki yang lebih kecil berumur tiga dan empat tahun adalah
cucuku, anak dari keponakanku yang berbeda, meskipun aku bahkan belum
menikah.
Ada hal yang menarik yang mereka bertiga bicarakan. Di
depan televisi yang tidak mereka perhatikan sama sekali, mereka saling
berdebat.
"Supermen ya bawa pedang.." Cucu laki-lakiku itu memulai perdebatan. Gayanya polos, sama sekali tak merasa bahwa dia salah.
"Supermen ya bawa pistol, masa bawa pedang." Adik laki-lakiku langsung
menimpali, ia tidak mau kalah karena ia anak paling besar dalam
kerumunan itu, juga tidak merasa salah. Bahkan berkata lebih meyakinkan
dari cucu laki-lakiku.
Sedangkan cucu perempuanku hanya
memperhatikan saja apa yang mereka berdua perdebatkan. Mungkin selain
dia yang paling muda, dia juga belum mengenal tema superhero yang kakak
dan kakek kecilnya bicarakan. Dan aku malas-malasan untuk ikut campur
dalam perdebatan di jalan salah mereka.
"Supermen ya bawa pedang,
kata ayah!" Masih tidak terima, pendapatnya yang tanpa dasar itu
dibantah, ia memasukan ayahnya untuk dijadikan dasar dan referensi dalam
perdebatan. Pendapatnya benar-benar jadi semakin kuat dan meyakinkan.
Sedangkan aku tertawa kecil mendengarnya, bertanya dalam hati, apa yang
ayahnya pikirkan memberikan pernyataan seperti itu pada anaknya? Atau
dia hanya mengiyakan apa yang anaknya katakan saat berkata supermen bawa
pedang? Entahlah.
Harga diri menjadi anak paling besar dan
paling berpengalaman diantara mereka membuat adiku sama sekali tidak
gentar. "Hahaha, masa supermen bawa pedang. Supermen ya bawa pistol."
Gayanya benar-benar seperti orang dewasa dalam berdebat. Merendahkan
dulu apa yang disampaikan lawan bicara dengan mentertawakan pendapatnya,
kemudian dimasukanlah pendapatnya setelah ia merasa pendapatnya bakal
lebih tinggi karena sudah merendahkan pendapat lawanya.
Dan masih
saja yang paling kecil diam. Ahh mungkin karena dia seorang gadis jadi
tidak tertarik dengan pembicaraan panas kakak dari budhe jauhnya itu
juga kakek kecilnya. Tapi justru aku yang paling aneh. Tertawa
terbahak-bahak mendengarkan perdebatan seru mereka. Juga teringat akan
diri sendiri, apakah seperti ini kalau aku berdebat. Merasa menjadi
orang yang paling tahu, mendatangkan fakta-fakta dari segala arah, yang
entah fakta buatan atau fakta kebenaran yang salah dipahami. Berkata
seolah-olah aku orang paling benar, dan tidak seorangpun lebih
berpengetahuan daripada diriku. Tapi entah kenapa, sebanyak apapun aku
kuatkan pendapatku, lawan debatku selalu saja bisa membenarkan
pendapatnya? Jadi sebenarnya, siapakah yang salah? Siapa yang benar?
Atau kami semua hanya anak kecil seperti tiga orang anak di depanku ini?
Mereka bertiga menatapku heran karena tertawa terbahak-bahak. Saling
berpandangan mata, dan kemudian memutuskan bermain permainan lainya.
Melupakan dalam sekejap apa-apa saja yang baru mereka perdebatkan.
Sedangkan kami para orang dewasa yang paling mulia ini, memendam
perdebatan sampai ke dalam hati yang terdalam. Mengubahnya menjadi
kebencian, memutus silaturahim juga pertemanan yang telah lama
terbentuk.
Oleh Nunu Nugraha
26 Maret 2016
Twitter: @NunuDNugraha
IG : @nununugraha17
26 Maret 2016
Twitter: @NunuDNugraha
IG : @nununugraha17
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 komentar:
Posting Komentar